Sabtu, 06 November 2010

Paradigma Thomas S. Khun

1. Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi), epistemologi positivistik telah menjadi sebuah hegemoni, tetapi sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, terlihat perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan. Perkembangan ini sebenarnya merupakan upaya pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan positivistik yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, Norwood Russel Hanson, Robert Palter, Steven Toulmin serta Imre Lakatos. Kuhn juga mengkritik doktrin-doktrin filsafat tertentu seperti Baconian, pandangan tentang verifikasi, falsifikasi, probabilistik, penerimaan dan penolakan teori-teori ilmiah.
Apa yang disebut dengan filsafat ilmu baru ini dimulai dengan terbitnya karya Kuhn The Structure of Scientific Revolutions. Tulisan ini mempunyai arti penting dalam perkembangan filsafat ilmu, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang memberi insight dalam berbagai bidang disiplin intelektual dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang jarang dapat ditandingi.
Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model yang terdahulu adalah pendekatan/perhatiannya yang besar terhadap sejarah ilmu dan filsafat sains. Dan peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang terjadi. Bagi Kuhn sejarah ilmu merupakan starting point dan kaca mata utamanya dalam menyoroti permasalahan-permasalahan fundamental dalam epistemologi, yang selama ini masih menjadi teka-teki. Menurutnya, dalam setiap perkembangan ilmu pengetahuan selalu terdapat dua fase yaitu; normal science dan revolutionary science. Singkatnya, normal science adalah teori pengetahuan yang sudah mapan sementara revoutionary science adalah upaya kritis dalam mempertanyakan ulang teori yang mapan tersebut dikarenakan teori tersebut memang problematis.

2. Rumusan masalah
Sebagaiman dalam tema diatas penulis dengan merumuskan masalah bagaimana terjadinya paradigma Thomas S. Kuhn untuk mengembangkan suatu keilmuannya?

3. Pembahasan
Kuhn meniti karirnya mula-mula sebagai seorang ahli fisika, baru dalam perkembangan selanjutnya ia mendalami sejarah, sejarah ilmu dan filsafat ilmu. Karena begitu antusiasnya kepada sejarah dan khususnya sejarah ilmu, ia mengklaim bahwa filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada sejarah ilmu yang baru.
Gagasan Kuhn ini sekaligus merupakan tanggapan terhadap pendekatan Popper pada filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, Popper menjungkir-balikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesa yang disusul dengan upaya falsifikasi. Namun Popper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pola pikir Kuhn yang lebih mengutamakan sejarah ilmu sebagai titik awal segala penyelidikan.
Dengan demikian filsafat ilmu diharapkan bisa semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah sesungguhnya. Terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan melalui revolusi-revolusi ilmiah. Dengan demikian Kuhn beranggapan bahwa kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner bukan maju secara kumulatif.
Pengertian paradigma adalah model utama, pola atau metode (untuk meraih beberapa tujuan). Seringkali paradigma merupakan sifat paling khas atau dasar dari sebuah teori atau cabang ilmu.
Paradigma dalam disiplin ilmu intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam birfikir (kognitif), bersifat (efektif), nilai, dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khusunya dalam disiplin intelektual.
Latar belakang lahirnya paradigma Kuhn
Gagalnya kaum falsifikasionis memperhitungkan kompleksitas yang terdapat pada teori yang pentign-penting. Chalmers mengatakan penekanan kaum falsifikasionis yang melakukan dugaan dan falsifikasi, tidak mampu mengkarakteristik dengan memadai asal mula dan pertumbuhan teori-teori yang komplek realistis, yang memandang teori sebagai suatu struktur yang utuh.
Pandangan tentang teori sebagai struktur yang komplek adalah pandangan yang pernah dan kini banyak mendapat perhatian. Thomas Kuhn adalah filsuf yang memperkenalkan dalam bukunya, The Structure of Scientific Revolution tahun 1962. Teori Kuhn terdapat peranan penting yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologis masyarakat ilmiah dan pendekatan yang menggunakan pandangan filosofis yang tahan terhadap kritik yang berdasarkan sejarah ilmu, dan para digma Kuhn juga dijadikan sebagai salah satu alasan terjadinya proses perkembangan pemikiran (ilmu).
Proses perkembangan ilmu
1) Paradigma dan Normal Science
Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan istilah “sains normal”. Kuhn mengemukakan bahwa sains normal adalah beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah. Atau dengan kata lain, sains normal adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis.
Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Dari sini nampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok praktisi bahwa masalah-masalah itu rawan. Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan.
Dalam perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidakberhasilan teori Ptolemaeus betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari Copernicus. Contoh lain tentang hal ini, misalnya bisa dilihat pada bidang fisika yang berkenaan dengan teori cahaya. Mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu maujud mekanis kuantum yang memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan beberapa karakteristik partikel. Teori ini menjadi landasan riset selanjutnya yang hanya berumur setengah abad dan berakhir ketika muncul teori baru dari Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori ini pun sempat diterima oleh hampir semua praktisi sains optika, kemudian muncul teori baru yang bisa dikatakan lebih "unggul" yang digagas oleh Young dan Fresnel pada awal abad XIX yang selanjutnya dikembangkan oleh Planck dan Einstein, yaitu bahwa cahaya adalah gerakan gelombang tranversal.
Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi. Hal ini merupakan perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.

2) Anomali dan Munculnya Penemuan Baru
Data anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan kegiatan ilmiah. Dalam hal ini Kuhn menguraikan dua macam kegiatan ilmiah, puzzle solving dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan.
Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa yang tersaing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan adanya anomali. Kemudian riset berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan riset tersebut hanya akan berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Jadi yang jelas, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.

3) Revolusi Sains: Permasalahan dan Keutamaannya
Sebagaimana telah disinggung dalam uraian terdahulu, revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang dijadikan referensi riset. Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang barangkali bertentangan.
Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru. Dan hal ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan pemilihan dan legitimasi paradigma yang lebih definitif. Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sains. Oleh karena itu, permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademisi atau masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen lama. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam wujud yang berbeda dan juga berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya dan ia tetap bertahan pada paradigma lama maka aktivitas-aktivitas risetnya hanya merupakan tautologi, yang tidak berguna sama sekali.

4. Kesimpulan
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science. Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner, yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan.Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn perkembangan ilmu akan terjadi. Dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek maler dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ektra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan.
Apabila para pendukung paradigma klasik tetap keras kepala terhadap paradigma yang dianutnya dengan berusaha melakukan upaya pemecahan-pemecahan science normal berdasarkan paradigmanya walaupun berhasil mengatasi permasalahan itu revolusi besar dan kemajuan science tidak terjadi. Mereka tetap berada dan terperangkap dalam stage normal science dan tetap sebagai ilmuan biasa. Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut



DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, 1995. Falsafah Kalam era Postmodernisme, Pustaka Pelajar. Yogyakarta

E.G. Singgih, Kuhn dan Küng: Perubahan Paradigma Ilmu dan Dampaknya Terhadap Teologi Kristen, Protestan online, http://www.zngelow@yahoo.com, 22 Agustus 2010

Aan Najib, Paradigma Dan Revolusi Sains: Telaah Atas Konsep Pemikiran Thomas Samuel Kuhn dan Implikasinya dalam Wacana Pendidikan, 29Agustus 2010

Rita Hanafie SRDm, Soetrisno, 2007. Filsafat Ilmu & Metodologi Penelitian, C.V ANDI OFFSET. Yogyakarta

Jujun S. Suriasumantri.1998, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Herpensi, Nopember 2009, posted filsafat.

Mohammad Muslih, Mei 2004: filsafat ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar. Jogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar