Sabtu, 06 November 2010

Filsafat Ilmu

Epistomologi diartikan pengetahuan mengenai pengetahuan yang sering disebut “teori pengetahuan” (theory of knowledge). Persoalan sentral epistomologi adalah mengenai persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya “ what can we know, and how do we know it”.
Dalam epistomologi terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi objek, metode, sistem dan tingkat kebenaran yang berbeda-beda. Segala macam perbedaan itu berkembang dari perbedaan tajam tentang sudut pandang dan metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Cara pandang dan metode mana yang lebih dapat dipercaya tergantung dari jenis dan sifat objek studi. Empirisme identik dengan teori koresponden tentang kebenaran, dan rasionalisme identik dengan teori koherensi. Dengan kata lain, episatomologi merupakan suatu bidang filsafat nilai yang mempersoalkan tentang hakikat kebenaran, karena semua pengetahuan mempersoalkan kebenaran.
Pengetahuan ada yang diperoleh secara langsung melalui sumber kemampuan indra (indera. Pen). Berdasarkan jenis dan cara mengetahui ini, dapat dinilai bahwa tingkat kepastian kebenaran yang diperoleh tentu berbeda-beda. Perbedaanya adalah: pertama, di tentukan oleh “ kemampuan pengindraan” setiap orang. Kedua, kebenaran juga bisa ditentukan oleh “kemampuan akal pikiran” yang berbeda-beda bagi setiap objek. (dikutip dari suparlan suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 2005:117-118).

Tugas :
1. Cermati kutipan bacaan di atas dengan seksama.
2. Beri jawaban yang singakat, padat dan tepat tentang adanya perbedaan dimaksud.
3. Jawaban disajikan dalam bentuk contoh konkret baik berupa kasus, peristiwa atau hasil kajian ilmiah.
4. Jawaban disertai dengan argumen pendukung yang relevan, dan analisis yang memadai.
5. Panjang jawaban maksimal tiga halaman kuarto.
6. Waktu ayng disediakan selama 1 (satu) minggu, dihitung dari waktu peneriamaan lambaran tugas ini.

Selamat Bertugas....

>>Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu.
Filsafat ilmu sangat penting peranannya terhadap penalaran manusia untuk membangun ilmu. Sebab, filsafat ilmu akan menyelidiki, menggali, dan menelusuri sedalam, sejauh, dan seluas mungkin semua tentang hakikat ilmu. Dalam hal ini, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan akar dari semua ilmu dan pengetahuan.
Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi.
Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Secara garis besar, aliran-aliran yang kemudian muncul dalam metode pencarian kebenaran ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris.
Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Rasionalisme
Secara etimologis rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. (Lacey, 2000. Hal. 286). Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan.Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. (Bagus, 2002. Hal. 929). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti. (Hadiwijono,1980. Hal 18)
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.(Louis, 2004.Hal.135).
Kaum rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia. (Stanle, 2003. Hal. 99).
Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut. (Ibid,1988.Hal, 20).
Dalam perkembangannya rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para pengusungnya.
Empirisme
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. (Bagus, 2002. Hal,197). Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia (Paul, 1967. Hal. 499) yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera. (Lacey, 2000. Hal. 88). Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal. (Bagus, 2002. Hal, 197-198).
Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin. (Honer, 2003. Hal,102).
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri. (Ibid, 1988. Hal, 15). Seperti juga pada rasionalisme, maka pada empirisme pun terdapat banyak tokoh pendukungnya yang tidak kalah populernya. Tokoh-tokoh dimaksud di antarnya adalah David Hume, John Locke dan Bishop Berkley.
Kedua aliran tersebut di atas memiliki pandangan yang berbeda dalam memandang suatu kebenaran. Perbedaan tersebut disebabkan karena pandangan dasar usaha pencarian kebanran keduanya yang juga berbeda.
Kaum rasionalis mulai dengan suatu pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang digunakan untuk membangun sistem pemikirannya diturunkan dari idea yang jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mampu ‘mengetahui’ idea itu, kendati manusia tidak menciptakannya maupun tidak mempelajarinya lewat pengalaman. Idea itu sudah ada sebagai bagian dari kenyataan dasar yang tertangkap oleh pikiran manusia yang menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada – artinya, prinsip harus benar dan nyata. Ketiadaan prinsip itu tidak memungkinkan manusia menggambarkannya sebagai ada. Prinsip itu dianggap sebagai suatu apriori atau pengalaman. Prinsip itu tidak dikembangkan dari pengalaman karena pengalaman hanya dapat dimengerti jika ditinjau dari prinsip itu. Sementara, kaum empiris mendasarkan teori pengetahuannya pada pengalaman yang ditangkap oleh pancaindra. Jhon Locke berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai tabularasa. Segenap data yang ditangkap pancaindra digambar di situ sebagaimana diungkapkannya sendiri: “Pengetahuan adalah hasil dari proses neuro-kimiawi yang rumit, di mana obyek luar merangsang satu organ pancaindra atau lebih, dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau elektris di dalam organ badani yang disebut otak.” (http://filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/01/catatan-ringkasan-filsafat-ilmu-buku.html. Diakses, 5 Oktober 2010).
Analogi sederhana untuk kedua aliran tersebut, seperti pernyataan bahwa daun itu berwarna hijau karena memiliki klorophil. Bagi kaum rasionalis, pernyataan tersebut benar adanya. Kebenaran itu sudah ada dalam alam idea manusia. Jadi sebenarnya manusia tidak mempelajari apa pun; ia hanya teringat pada yang telah ia ketahui. Dengan perkataan lain, prinsip-prinsip dasar dan umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran manusia.
Tetapi beda halnya bagi kaum empiris, pernyataan di atas belum merupakan kebenaran jika belum diuji secara empirik. Sebab kesimpulan bagi kaum empiris adalah hasil empirik dari penginderaan manusia.
Ada dua aspek utama teori empiris. Yang pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui (obyek). Yang kedua adalah bahwa pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia. Pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu harus memenuhi persyaratan pengujian publik. (http://filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/01/catatan-ringkasan-filsafat-ilmu-buku.html. Diakses, 5 Oktober 2010).
Aspek lain adalah prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu. Selain itu, kaum empiris juga mempergunakan prinsip keserupaan, yakni bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdadsarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka kita memiliki cukup jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu.





DAFTAR PUSTAKA

A.R. Lacey, 2000. A Dictionary of Philosophy atau Suatu Kamus Filosofi. Routledge, New York.

Bagus, loc. Cit. Lorens Bagus, 2002. Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Bagus, Lorens, 2002, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hadiwijono, Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta.

Honer, Stanley M. dan Thomas C. Hunt, 2003, Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Yayasan obor Indonesia, Jakarta.

http://filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/01/catatan-ringkasan-filsafat-ilmu-buku.html. Diakses, 5 Oktober 2010

Ibid dan Y. Masih,1988. A Critical History of Modern Philosophy atau Suatu Sejarah Kritis Filosofi Modern , Motilal Banarsidass.

Louis O. Kattsoff, 2004. Element of Philosophy atau Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 2 atau Encyclopedia Filosofi Volume 2. The Macmillan Company & The Free Press, New York, 1967.

Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, 2003. Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Yayasan obor Indonesia, Jakarta. Hal. 99).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar